Sepertinya tak lengkap
bila berkunjung ke Bandung tidak menyempatkan mampir ke pabrik rumahan Kopi Aroma yang terletak di
pusat Kota. Selain mendapatkan aroma utuh sebuah kopi, pengunjung bisa melihat langsung
proses pembuatan, mulai dari penjemuran,
penggarangan, hingga penggilingan, yang semuanya diolah secara tradisional.
Ada pemandangan ganjil bila di pagi hari Anda melintas Jl.
Banceuy. Mata kita akan menangkap
kerumunan orang memanjang di pinggir trotoar. Padahal, pagi itu seluruh
pertokoan, yang dikenal sebagai sentra suku cadang kendaraan bermotor, masih
pada tutup. Rupanya mereka tengah antri untuk membeli kopi bubuk Aroma. Mereka
rela menunggu dan antri dari jam 06.00
pagi, dua jam sebelum pabrik dibuka.
Mengapa mereka rela antri untuk sekedar belanja kopi yang sebetulnya sudah banyak dijual di pasar
swalayan terkenal di Bandung? Jawabannya beragam, ada yang menyebut produknya
masih segar, sampai ada yang ingin tahu proses pembuatannya, yang alami banget. “ Masalah harga nomor dua,
mungkin hanya beda dua tiga ribu dengan di mol,” kata Ahmed yang mengaku dari
Johor Bahru, Malaysia. Ia rela mengantri dari jam 06.30, sebelum menuju Bandara
untuk kembali pulang ke negaranya.
Memang hampir sebagian besar yang antri belanja kopi di sini
kebanyakan dari luar kota Bandung. Merk Kopi Aroma buatan Bandung sudah dikenal
luas ke manca negara dan menjadi salah satu destinasi mereka untuk belanja buah
tangannya.
Kopi Aroma kini dikelola generasi kedua. Widyapratama , putra tungggal Tan Houw Sian, tinggal melanjutkan rintisan usaha mendiang ayahnya yang dibuat sejak tahun
1930-an. Pria kurus alumnus UNPAD yang aktif mengajar di UNPAR ini bukan tanpa
halangan untuk melanjutkan Aroma hingga besar seperti sekarang. Pabrik kopi
Aroma sempat kolap bahkan di tahun 1970-an nyaris berhenti ketika ayahnya sudah
tua sementara Widya, begitu pria disapa, masih kecil. Namun berkat keuletan dan
berguru sampai Singapura, Aroma kembali hidup dan kini menjadi salah satu ikon Bandung.
Tak ada rahasia dalam menjaga cita rasa kopi buatannya, semua
terbuka. Bahkan pengunjung diperbolehkan
melihat dari dekat proses pembuatan dari awal hingga pengepakan. Justru dengan terbuka seperti itulah Aroma tumbuh menjadi besar. Bila orang bicara kopi,
pasti berakhir dengan thema Aroma.
Untuk menjaga mutu, Widya tak pernah mempercayakan pada
siapapun, termasuk pada anak dan karyawannya
untuk mencicipi tingkat kematangan kopi yang digarangnya. Sejak pagi buta ia sudah melibatkan diri bersama beberapa karyawannya
untuk menggarang kopi. Ia tak risi mengangkat karung goni, dan memutar- mutar
tungku besi mirip bola besar di atas bara api. Ia sepertinya sudah akrab dengan
udara panas yang terperangkap dalam
ruangannya.
Sekalipun jaman sudah modern, ia tetap konsisten
mempertahankan tradisi leluhurnya, menggunakan peralatan tahun 1930-an serta
kayu bakar sebagai sumber panasnya. “ Banyak peralatan modern dan praktis. Tapi
semua itu akan merusak rasa dan manfaat sebuah kopi, “ katanya singkat.
Selain mempertahankan proses pembuatannya, ia juga selektif memanfaatkan kopi yang akan
diprosesnya. Kopi yang diolah hari ini merupakan kopi simpanan 5 sampai 8 tahunan silam. “ jadi
biji Kopi yang dibeli sekarang kami jemur dan kami simpan dalam gudang
dan diberi label, untuk diolah 5-8 tahun kemudian. Dan yang saya giling
sekarang hasil simpanan 8 tahun lalu.
Begitu terus kami ulang- ulang,” kata Pria paruh baya yang biasa mengenakan
kemeja warna kopi. Menurutnya, untuk kopi Robusta minimal harus disimpan dalam
karung goni selama 5 tahun, sementara untuk
jenis Arabika minimal harus tersimpan 8 tahun.
Menurutnya, kalau sekedar mengejar omzet bisa saja ia
menggunakan mesin modern serta mengambil kopi, tanpa melihat berapa lama
digudang. “ Tapi kan itu tidak enak,
ke lambung saja bisa kembung. Kalau ini tidak, malah bisa menyehatkan,”
katanya.
Dari tampak luar, memang gedung art deco ini tidak begitu besar, namun bila masuk ke dalam kita disuguhkan ruangan gudang yang luas, seukuran lapangan
voli. Sementara, ruangan terbuka, tempat menjemur kopi, ditaksir seukuran
lapangan batminton. Area dapur, untuk memasak kopi berukuran sekitar 15 x4
meteran terletak antara gudang dengan ruangan pengepakan. Untuk melayani
pembeli hanya disediakan satu pintu . Itu pun ditutup dengan lemari kayu lawas
yang di bagian atasnya berisi
berbagai jenis butiran kopi rapi tertutup
kaca.
Selain memanfaatkan kopi dari alam Parahyangan, seperti dari
Ciwidey dan Pangalengan, Aroma juga mendatangkan biji kopi dari Aceh, Medan,
Toraja, Flores. Bahkan untuk jenis kopi
Robusta ia sengaja datangkan khusus dari Bengkulu, Lampung , dan Jawa
Timur, tentunya sebagian dari Pangalengan.
Menurutnya, bila kopi dimasak secara benar akan bermanfaat
bagi tubuh. Selain menghilangkan stress, kopi juga mujarab untuk mengobati
diabetes.
“ Caranya gampang,
supaya panasnya merata, bila air sudah mendidih langsung seduh ke
kopinya dan jangan sampai terhalang
sendok, setelah itu baru diaduk,” katanya.
Untuk mendapatkan kopi Aroma ukuran 0, 25kg cukup dengan Rp27.500. (asepburhanudin/geowisata.net)