Senin, 21 Desember 2015

Kopi Aroma Harumkan Pariwisata Bandung


Sepertinya tak lengkap bila berkunjung ke Bandung tidak menyempatkan mampir  ke pabrik rumahan Kopi Aroma yang terletak di pusat Kota. Selain mendapatkan aroma utuh sebuah kopi, pengunjung bisa melihat langsung proses pembuatan,  mulai dari penjemuran, penggarangan, hingga penggilingan, yang semuanya diolah secara tradisional.

Ada pemandangan ganjil bila di pagi hari Anda melintas Jl. Banceuy.  Mata kita akan menangkap kerumunan orang memanjang di pinggir trotoar. Padahal, pagi itu seluruh pertokoan, yang dikenal sebagai sentra suku cadang kendaraan bermotor, masih pada tutup. Rupanya mereka tengah antri untuk membeli kopi bubuk Aroma. Mereka rela menunggu dan  antri dari jam 06.00 pagi, dua jam sebelum pabrik dibuka.
Mengapa mereka rela antri untuk sekedar belanja  kopi  yang sebetulnya sudah banyak dijual di pasar swalayan terkenal di Bandung? Jawabannya beragam, ada yang menyebut produknya masih segar, sampai ada yang ingin tahu proses pembuatannya, yang alami banget. “ Masalah harga nomor dua, mungkin hanya beda dua tiga ribu dengan di mol,” kata Ahmed yang mengaku dari Johor Bahru, Malaysia. Ia rela mengantri dari jam 06.30, sebelum menuju Bandara untuk kembali pulang ke negaranya.
Memang hampir sebagian besar yang antri belanja kopi di sini kebanyakan dari luar kota Bandung. Merk Kopi Aroma buatan Bandung sudah dikenal luas ke manca negara dan menjadi salah satu destinasi mereka untuk belanja buah tangannya.
Kopi Aroma kini dikelola generasi kedua.  Widyapratama , putra tungggal Tan Houw Sian,  tinggal melanjutkan rintisan  usaha mendiang ayahnya yang dibuat sejak tahun 1930-an. Pria kurus alumnus UNPAD yang aktif mengajar di UNPAR ini bukan tanpa halangan untuk melanjutkan Aroma hingga besar seperti sekarang. Pabrik kopi Aroma sempat kolap bahkan di tahun 1970-an nyaris berhenti ketika ayahnya sudah tua sementara Widya, begitu pria disapa, masih kecil. Namun berkat keuletan dan berguru sampai Singapura, Aroma kembali hidup dan kini menjadi  salah satu ikon Bandung.


Tak ada rahasia dalam menjaga cita rasa kopi buatannya, semua terbuka. Bahkan pengunjung  diperbolehkan melihat dari dekat proses pembuatan dari awal hingga pengepakan. Justru  dengan terbuka seperti itulah Aroma  tumbuh menjadi besar. Bila orang bicara kopi, pasti berakhir dengan thema Aroma.
Untuk menjaga mutu, Widya tak pernah mempercayakan pada siapapun, termasuk  pada anak dan karyawannya untuk mencicipi tingkat kematangan kopi yang digarangnya.  Sejak pagi buta ia  sudah melibatkan diri bersama beberapa karyawannya untuk menggarang kopi. Ia tak risi mengangkat karung goni, dan memutar- mutar tungku besi mirip bola besar di atas bara api. Ia sepertinya sudah akrab dengan udara panas  yang terperangkap dalam ruangannya.
Sekalipun jaman sudah modern, ia tetap konsisten mempertahankan tradisi leluhurnya, menggunakan peralatan tahun 1930-an serta kayu bakar sebagai sumber panasnya. “ Banyak peralatan modern dan praktis. Tapi semua itu akan merusak rasa dan manfaat sebuah kopi, “ katanya singkat.
Selain mempertahankan proses pembuatannya, ia juga  selektif memanfaatkan kopi yang akan diprosesnya. Kopi yang diolah hari ini merupakan kopi simpanan 5  sampai 8 tahunan silam.  “ jadi  biji Kopi yang dibeli sekarang kami jemur dan kami simpan dalam gudang dan diberi label, untuk diolah 5-8 tahun kemudian. Dan yang saya giling sekarang hasil simpanan 8  tahun lalu. Begitu terus kami ulang- ulang,” kata Pria paruh baya yang biasa mengenakan kemeja warna kopi. Menurutnya, untuk kopi Robusta minimal harus disimpan dalam karung goni selama 5 tahun, sementara untuk  jenis Arabika minimal harus tersimpan 8 tahun.
Menurutnya, kalau sekedar mengejar omzet bisa saja ia menggunakan mesin modern serta mengambil kopi, tanpa melihat berapa lama digudang. “ Tapi kan itu tidak enak, ke lambung saja bisa kembung. Kalau ini tidak, malah bisa menyehatkan,” katanya.
Dari tampak luar, memang gedung art deco ini tidak begitu besar, namun bila  masuk ke dalam kita disuguhkan  ruangan gudang yang luas, seukuran lapangan voli. Sementara, ruangan terbuka, tempat menjemur kopi, ditaksir seukuran lapangan batminton. Area dapur, untuk memasak kopi berukuran sekitar 15 x4 meteran terletak antara gudang dengan ruangan pengepakan. Untuk melayani pembeli hanya disediakan satu pintu . Itu pun ditutup dengan lemari kayu lawas yang di bagian atasnya  berisi berbagai   jenis butiran kopi rapi tertutup kaca.
Selain memanfaatkan kopi dari alam Parahyangan, seperti dari Ciwidey dan Pangalengan, Aroma juga mendatangkan biji kopi dari Aceh, Medan, Toraja, Flores. Bahkan untuk jenis kopi  Robusta ia sengaja datangkan khusus dari Bengkulu, Lampung , dan Jawa Timur, tentunya sebagian dari Pangalengan.
Menurutnya, bila kopi dimasak secara benar akan bermanfaat bagi tubuh. Selain menghilangkan stress, kopi juga mujarab untuk mengobati diabetes.
“ Caranya gampang,  supaya panasnya merata, bila air sudah mendidih langsung seduh ke kopinya  dan jangan sampai terhalang sendok, setelah itu baru diaduk,” katanya.
Untuk mendapatkan kopi Aroma ukuran 0, 25kg cukup dengan Rp27.500. (asepburhanudin/geowisata.net)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar